Selasa, 03 April 2012

8.. 9... 10... Udah apa Belom..???

Hy semuanya 

Twrimakasih buat yang masih mau baca ni cerbung,,,
Ingat ya.. ni cerbung gua COPAS dari Novel…
Jadi ini bukan karya gua..
Lanjut aja yukk :D

8… 9… 10… Udah Belom..??

Part 2

*****
Seminggu kemudian….
Dengan santai Rio berjalan di koridor sekolah. Di tatapnya sekilas anak-anak kelas satu yang jelas-jelas sedang mengaguminya. Dalam hati ia tersenyum sinis. Sampai saat ini ia masih nggak habis piker dengan kaum yang bernama cewek. Kenapa sih mereka suka menatap cowok dengan tampang terlongo-longo begitu? Biasa aja deh!
Dulu, waktu kelas satu, Rio memang suka banget kalo para cewek mengagumi dirinya. Ia merasa dicintai banyak orang. Bahkan dulu, untuk pacaran dengan Shilla saja Rio nggak perlu nembak. Shilla yang dating duluan ke hadapannya dan menawarkan status pacaran. Bukan berarti ia nggak menyukai Shilla, tapi masalahnya, apa banar makna pacaran hanya sesimpel itu? Hanya semudah mengucapkan kata “aku suka kamu” dan “oooh ternyata kamu juga suka aku” ?
Namun, persahabatan Rio dengan Iel (waktu itu Rio kelas satu dan Iel sudah kelas tiga) secara nggak langgsung telah menyadarkannya.
Sebagai senior dan cowok yang juga popular seperti Rio, Iel nggak pernah senang kalo para cewek. Selain ganteng dan jadi kapten tim basket cowok SMA Pelita, Iel sangat low profile. Munggkin itu pula yang membuat Rio kagum padanya.
Rio teringat obrolannya dengan Iel beberapa bulan yang lalu, saat mereka sedang istirahat di sela-sela latihan basket yang menyita energi.
“Iel, lo nyadar nggak, kalo lo lagi jalan, cewek-cewek pada ngeliatin elo.”
“oh ya?” Iel menoleh sekilas kea rah Rio. “ Wah, gue nggak pernah kepikiran sampek sana tuh”
Senyum Rio langsung punah dalam sekejap. Rasa capeknya setelah latihan sampai nggak terasa lagi. “Emangnya lo nggak pernah sadar kalo anak-anak cewek banyak yang naksir lo”?
Iel tersenyum geli. “Apa yang perlu ditaksir dari gue?”
Rio menunduk. Sebodoh inikah seniornya sampai nggak menyadari ketampanannya sendiri? “Yaaah mana gue tau? Mungkin karena lo jago basket, pinter pula dikelas. Dan alasan paling jujur yang dimiliki semua cewek, tampang lo lumayan” kata Rio sekenanya, tapi tetap aja nggak mau terang-terangan mengatakan bahwa Iel cakep. Habis, nggak lucu kan, kalo cowok muji cowok?
Iel mulai tetarik. “kayaknya yang barusan gue dengar bukan cirri-ciri gue deh. Bukannya itu elo?” Rio mengalihkan pandangan sambil pura-pura asyik menenggak air mineral. “Yaaah, gue sih Cuma bisa say thanks doing ke mereka,” lanjut Iel cuek.
“nggak tetarik buat pacaran?” Tanya Rio asal. Iel menaukkan alis. “gue denger lo selalu nolak cewek yang nembak lo. Kenapa, man? Lo nggak homo, kan? Hahaha!” goda Rio
Iel tertawa geli sambil merangkul pundak Rio.
“gue udah punya pacar, Yo,” ujarnya pelan tapi tegas.
Rio melongo. “hah!? Siapa? Gile, kok gue nggak pernah denger sih? Bahkan anak-anak juga taunya elo jomblo sejati!”
“salah sendiri, mereka nggak pernah nanya langgusng ke gue. Sejak satahun yang lalu, gue udah resmi jadian sama dia”
“Wih, selamet ya! Berapa lama pedekatenya?” Tanya Rio sambil sesekali menenggak air mineralnya.
Iel tersenyum tipis. “kira-kira… Sembilan tahunan.”
Refleks Rio tersedak. Iel langsung menepuk-nepuk punggungnya. Rio menatap Iel dengan tatapan nggak percaya.
“Dia satu-satunya cewek dalam hidup gue. Karena dia, gue nggak pernah bisa jatuh cinta sama cewek lain. She is a simple girl but I love her” kata iel yakin. “ dan gue harap, lo juga melakukan hal yang sama ke cewek lo, kalo elo punya cewek ya seperti yang gue lakukan ke cewek gue. Would you?”
Rio terdiam. Hening sesaat. Ia membuang padang kea rah lantai. Jujur, ia sama sekali nggak menyangka akan mendengar kata-kata seperti itu keluar dari mulut Iel yang menurutnya cowok serbasuper. Apakah itu artinya pikiran gue dangkal ya? Batin Rio.
“Dunno” desah Rio pelan, tanpa menyadari bahwa sejak tadi Iel terus memerhatikannya.
Iel berdiri, bersiap kembali ke lapangan. “Nanti gue kenalin cewek gue ke elo. Dia bakal masuk SMA ini juga kok, jadi adik kelas lo. Berhubung gue udah hengkang, jadi… bantu gue jagain dia selama di sekolah ya! Oke deh. Don’t waste your time, bro!”
Refleks Rio mendongakkan kepala, melihat Iel sedang menatap ke lapangan basket. Untuk pertama kalinya, Rio mengakui bahwa seniornya ini memang pantas jadi kapten tim. Ada sesuatu yang berbeda dalam diri Iel. Ia tahu, ia nggak akan pernah menyesal mengenal Iel.
Rio melangkahkan kaki ke koridor, masih sambil mengingat kejadian beberapa bulan lalu itu. Dan karena asyiknya melamun, Rio nggak sadar ada seorang cewek yang berjalan tergesa-gesa di hadapanya.
“permisi, kak” sapa Ify yang tiba-tiba muncul di hadapanya Rio dengan wajah polos.
Rio menatap Ify dengan takjub. Rasanya sudah tiga kali ia bertemu cewek di hadapannya ini dengan cara yang cukup unik. Apakah ini sungguhan atau Cuma kebetulan?
“Ya?” sahut Rio sekenanya.
“saya mau Tanya, lapangan basket Indoor di mana, ya?” Tanya ify sambil menatap Rio yang juga sedang menatapnya binggung.
“Oh, di…” suara Rio tercekat. Tiba-tiba ia ingat, saat kejadian di tangga seminggu yang lalu, jelas-jelas Ify menabrak dirinya tanpa minta maaf. Jadi, buat apa dia membantu cewek ini menemukan lapangan basket indoor, yang nggak lain da nggak bukan adalah markas Rio?
“di mana, kak? Tanya Ify, binggung melihat ekspresi Rio barusan.
“di ujung koridor ini, belok kanan…” saat melihat Ify mendengar dengan saksama, Rio makin bersemangat. “nanti ada ruangan yang pintu depannya bekas ditempelin poster-poster. Nah, itu ruangannya”
Ify tersenyum puas. “makasih ya, kak” ucapnya tulus, membuat Rio salah tingkah.
Belum sempat Ify melenggang pergi, tiba-tiba Rio mencegatnya. “emangnya lo mau ngapain ke sana?” Tanya Rio penasaran.
“Hm… nggak ngapa-ngapain sih. Cuma karena kemarin saya nggak ikut MOS, sekarang saya pengen tau ekskul apa aja yang ada di sekolah ini. Siapa tau saya tertarik, terus ikut salah satunya,” jawab Ify sekenanya.
“Oh, begitu….,” Tanya Rio, masih belum puas.
Ify cengegesan nggak jelas. “Hm… tapi sebenarnya saya nggak bisa main basket sih..”
Rio menaikkan alis. “Lho, terus lo mau jadi apanya? Ring basketnya? Atau jadi bola basket sekalian?”
Ify menggerutu dalam hati. Hari pertama sekolah aja udah ketemu kakak kelas cakep tapi belagu kayak begini. “ya siapa tau saya bisa jadi manajernya,” jawab Ify asal.
“hah? Jadi manajer klub basket cowok apa cewek?” tanya Rio, makin menikmati pembicaraan ini.
“klub basket cowok dong. Biar bisa ketemu cewok-cowok cakep, terus jadian sama kapten timnya,” jawab Ify mulai kesal.
Rio melongo. Ia sama sekali nggak nyangka cewek di hadapannya ini berani berkata seperti itu. Andaikan Ify tahu, sebenarnya ia sedang berbicara dengan si kapten!
Tapi belum sempat Rio melanjutkan pertanyaan, Ify udah keburu menyela. “by the way, makasih ya, Kak!” kata Ify dengan senyum yang di paksa. Dengan cepat ia berlari meninggalkan Rio.
Dalam hati Ify mengerutu. “belagu banget tuh cowok. Untung Sivia lagi ke toilet. Kalo nggak, beeeh, bisa berantem tuh dia sama si cowok dodol tadi. Huh!”
***
Sore itu Rio pulang dengan selamat. Alvin yang memang sudah seminggu ini menjadi ojek pribadinya itu nggak henti-hentinya memuji rumah baru Rio. Ups, lebih tepat nya, rumah masa kecil Rio. Si tuan rumah malah hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kenorakan sohibnya itu.
“lo kenapa sih?” tanya Rio, udah enek melihat tingkah Alvin.
“wah, mantap…,” desah Alvin sambil terus menyentuh perabotan yang ada di lemari pajang. “ini baru rumah…”
Rio melempar sekaleng soft drink kea rah Alvin. Dengan singap Alvin menangkap. “jadi maksud lo, rumah lo bukan rumah? Terus apaan? Hutan?”
“hehehe… bukan gitu. Rumah elo enak banget sih. Nyaman.”
“munggkin pengaruh desainnya,” sahut Rio cuek. Ia mengajak Alvin duduk di sofa, menonton TV sambil menikmati soft drink.
Alvin duduk di samping Rio sambil membuka tutup kaleng minuman. “ngomong-ngomong, nyokap lo mana?” tanya Alvin sambil celingak-celinguk.
“Nih!” katario sambil mengambil selembar kertas yang ada di atas meja, di hadapannya.
Alvin menerima kertas itu dengan bingung. Mau nggak mau, ia pun membaca sambil mengerutkan dahi.
Dear Rio, my sweetest son

Tadi Mama ketemu tante Mia. Kami ngobrol-ngobrol dikit, dan akhirnya Mama kepikiran, nggak ada salahnya kalau kiya mengadakan syukuran karena kita udah balik lagi ke rumah ini. Ya anggap aja kita reunion sama tetangga. Jadi sekarang Mama belanja sama tante Mia. Kalo kamu mau titip sesuatu, telepon HP Mama aja ya, makan siang udah Mama siapin di meja.

Mama

NB: Oh ya, rumah udah selesai Mama beresin. Jadi kamu bisa nyantai! 

Alvin tergelak sambil meletakkan kertas itu kembali ke atas meja. “gue pengen punya nyokap kayak nyokap lo! Pasti fun banget ya!”
“Yap! Cukup fun kalo lo nggak ketemu dia setiap hari. Tau begini, mendingan gue latihan basket di sekolah! Mana anak-anak tadi udah pada bĂȘte gara-gara kapten timnya ngeliburin latihan,” dumel Rio.
“yaelah! Lo kok gila banget sih sama basket? Padahal masih banyak olahraga yang lebih asyik dari pada basket.”
Rio menoleh ke arah Alvin. “maksud lo?”
Alvin langgsung salah tingkah. “eh, iya ya. Lo pernah cerita, renang lo juga bisa, voli lo juga jago. Hehe… bikin iri gue aja!”
Tawa Alvin pecah. “tapi nyokap lo bener-bener asyik ya. Nggak heran anaknya juga asyik. Kalo nggak mah gue ogah jadi temen lo.”
“Wiiih! Gue makin curiga sama elo,” sahut Rio sambil menggeser tubuh, menjahui Alvin. Alvin langgsung menimpuknya dengan bantal sofa. Rio tergelak. “gomong-ngomong soal nyokap gue yang nyentrik nih, gue rasa karena itu pula Bokap bisa jatuh cinta sama Nyokap…”
Alvin menghela nafas. “gue pengen tuh, punya istri kayak nyokap lo…”
“tua banget sih otak lo! Masih bau jengkol aja udah mikirin istri segala!” seru Rio pura-pura jijik, yang langgsung di susul oleh tawa Alvin.
Alvin melirik jam tangannya. “duh! Gue balik dulu ya, Yo! Udah jam setengah lima,” ujar Alvin sambil memakai jaket, mengambil tas, dan berjalan keluar, menghampiri motornya yang diparkir di garasi.
“oke deh, Yo. Gue balik ya!” seru Alvin sambil melajukan motor dan menghilang di belokan jalan.
Rio menatap rumah-rumah di sekitarnya. Kenangan masa kecil pun mulai mampir di kepalanya. Dulu dia begitu akrab dengan situasi di sore hari begini. Semua anak kecil berkumpul untuk bermain dan berbagi kepolosan.
Tiba-tiba hatinya terasa hangat. Ia ingin kembali ke masa-masa itu. Masa-masa ketika ia bisa tertawa dan menangis tanpa harus malu. Mau ketawa ya ketawa aja. Mau nangis ya nangis aja. Nggak aka nada orang yang mencela. Berbeda dengan sekarang. Kalo hari gini ia ketawa dan menagis dengan cueknya di depan orang banyak, bisa-bisa ia disangka orang gila!
Perlahan Rio melangkahkan kaki menelusuri kompleks. Mumpung sepi dan nggak ada orang yang mengenalnya, jadi nggak ada salahnya ia jalan-jalan, membandingkan setiap perubahan dari ingatan masa kecilnya dulu dengan sekarang. Pastinya, banyak yang berubah. Dan ia ingin tahu seberapa besar perubahan itu.

*****
Begitu tiba di taman yang terletak di ujung jalan, senyum Rio langgsung mengembang. Walaupun samar-samar, ia masih mengingat taman ini. Rio sama sekali nggak ingat dengan jelas wajah teman-teman kecilnya. Bahkan ia lupa siapa saja teman yang dulu sering bermain dengannya.
Lagi pula, Rio bukan cowok melankonis, jadi otaknya pun nggak pernah berpikir kea rah situ. Yang ada di hadapannya sekarang ini, itulah yang harus dijalaninya. Baginya, itulah hidup. Jangan berpikir terlalu jauh, melainkan nikmatilah semuanya dengan baik. Dengan begitu, secara nggak langgsung, masa depan yang dibentukpun akan berjalan baik.
Perlahan Rio memasuki taman dan duduk di bangku ayunan. Memang konyol sih. Anak kelas dua SMA masa main ayunan? Haha! Rio tertawa dalam hati, menertawakan dirinya sendiri.
Tapi tiba-tiba…
BRUK! Tubuh Rio terhempas ke depan dan mendarat di tanah. Untung nggak sampai tiarap. Rio langgsung melihat kedua telapak tangannya yang sedikit lecet akibat menompang tubuhnya. Tapi nggak sampai satu menit kemudian, Rio sudah berdiri dan membalikkan badan untuk melihat siapa orang gila yang berani mendorongnya.
Ternyata…
Berdiri dengan wajah puas dan tangan terlipat di depan dada, Ify bersandar di tiang ayunan. Rambutnya yang panjang dan dikucir kuda makin mendukung ekspresi “siap bertarung”.
“Eh, elo!” seru Rio, nggak percaya dengan penglihatannya sendiri. “ngapain lo di sini?!” tanya Rio, yang dua detik selanjutnya baru ingat bahwa Ify juga tinggal di daerah sini. ”Oh, maksud gue, ngapain lo dorong gue?!” ralat Rio, masih dengan wajah kesalnya.
Ify tersenyum sinis. “Lo masih nggak tau apa dosa lo?”
“Hah?” Rio makin bingung. “emangnya lo siapa sampe berani menghakimi dosa-dosa gue? Malaikat kematian?” kata Rio dengan senyum mengejek.
“Gue orang yang elo bohongin tadi siang di sekolah, tolol!!” seru Ify, kesal setengah mati.
Rio tersadar. Perlahan ia mundur selangkah, malas meladeni cewek gokil ini. Masalahnya, memang ia yang bersalah. Tadi di sekolah ia memang segaja menunjukkan ruangan yang salah pada cewek ini.
Ify yang tau gelagat mau kabur Rio, makin mendekat ke arahnya. Bukan untuk mengagumi kecakepan wajah si kakak kelas belagu itu, melainkan untuk makin menyudutkannya sampai mengaku dosa.
“maksud lo apaan, hah? Pakek sok-sok baik ngasih tau jalan ke markas ekskul taekwondo segala? Lo bego apa tolol sih? Gue kan nanyanya lapangan basket indoor!” seru Ify, benar-benar kesal dibohongi. Parahnya, pas dia masuk ke dalam ruangan, anak-anak taekwondo lagi pada ganti baju! Untung baru buka baju doang.
Rio berhenti mundur. Emosinya sedikit terpancing. Sekarang ia lebih memilih untuk menghadapi Ify.
“Eh! Lo belagu banget sih jadi anak kelas satu! Nggak tau sopan santun ya?” balas Rio, nggak terima dibentak-bentak sama Ify.
“yang belagu itu lo apa gue? Mentang-mentang kakak kelas, terus lo bisa seenaknya mainin adik kelas, gitu?”
“terus mau lo apa, Hah?” tanya Rio, ingin cepat-cepat menyelesaikan pentengkaran bodoh ini.
“gue mau elo minta maaf ke gue” ujar Ify sambil tersenyum puas
“Cih ! seharusnya lo yang minta maaf duluan! Lo nggak ingat seberapa belagunya lo pas masuk sekolah waktu itu??” tanya Rio, teringat pada kejadian tabrakan di tangga sekolah.
Ify mengerutkan dahi. “kapan??”
“anak kecil kayak elo mah emang nggak mungkin inget! Sini, biar kakak ingetin ya, Dik. Hampir seminggu yang lalu, adik menabrak kakak di tangga sekolah. Adik nggak minta maaf, lagi” jelas Rio
Ify mengingat sejenak. “Oooh! Hm, jadi lo marah sama gue Cuma karena itu? Ih! Banci banget sih elo jadi cowok!”
Lagi-lagi Rio melongo. Nih cewek berani banget ngomong kasar. “sebenarnya sih bukan Cuma karena itu. Tapi…” Rio sengaja menggantung kalimat.
“Tapi…?” ulang Ify nggak sabaran.
Rio tersenyum sinis. “tapi karena gue emang suka ngerjain lo!”
“Dasar belagu” seru Ify dengan mika merah padam.
Tanpa berniat untuk membalas, Rio membalikkan badan dan berjalan meninggalkan Ify. Tapi baru beberapa langgkah, ia sudah kembali membalikkan badn.
“lo ngapain ngikutin gue?” tanya Rio jutek.
Langgkah Ify pun ikut terhenti. “dih! Ge-er banget sih lo!” sahut Ify, sama juteknya sambil melangkah mendahului Rio.
Akhirnya Rio melanjutkan perjalanan, dengan Ify di depannya. Mau nggak mau, diperhatikannya juga sosok Ify dari belakang. Entah kenapa, Rio merasa mengenal sosok itu. Salah satu teman kecilnyakah? Kalo iya, siapa namanya? Ah! Bodohnya ia sampai nggak tau nama si cewek padahal udah bertengkar mulut seseru tadi. Tapi… ya sudahlah.
Ify yang sejak tadi merasa rikuh karena ada Rio di belakangnya, perlahan-lahan membalikkan badan. Ia ingin tahu apakah masih diikuti atau nggak. Tapi begitu ia menoleh, sosok Rio sudah menghilang. Munggkin sudah masuk ke rumah. Tiba-tiba Ify merasa kehilangan. Lagi-lagi perasaan seperti ini. Jauh di lubuk hatinya, ia tau bahwa dulu ia pernah merasakan hal yang sama seperti sekarang.
Ify terduduk. Air matanya merebak. Untung terdengar suara Azan Magrib. Jadi, Ify langgsung berlari pulang ke rumah dan melupakan rasa sepinya.

***

Okeh 
Part 3 nya ntar nyusul…
InsyaAllah secepatnya kok.
Saran dan Unek-unek silahkan di Twitter aku
@Lysha_Fitria

Or Fb

Lysha Fitria Solidteam

Thanks 