Sabtu, 12 November 2011

8.. 9.. 10.. Udah Belom..?

Part I

*****

Sepuluh tahun kemudian...

''GUE beranggkat sendiri aja deh, vi'' ujar Alyssa yang sedang menelpone Sivia, sahabatnya. Alyssa tampak nggak sabar. Ia sibuk mengunyah roti bakarnya.

''Duh, sori banget, fy. Gua kesiangan. Kita telat bareng aja deh. Gua baru pakek seragam nih'' sahut Sivia dari sebrang sana.

''Gila lo! Kalo bisa on time, kenapa harus telat bareng? Mendingan gua berangkat sendiri! Jadi kan lo nggak perlu muter buat jemput gua dulu. Gua bisa kok naek angkot..''

''Lho, emang bokap lo ke mana?'' tanya Sivia

''Bokap gua udah berangkat lima belas menit yang lalu, Sayang..''

''Ya ampun, sori banget ya! Duh, kita telat bareng aja deh. Gua jemput lo. Gua udah selesai nih'' kata Sivia yakin.

''Nggak! Gua nggak mau telat di hari pertama kita sekolah. Lagian, gua tau kok jalan ke sekolah baru kita itu. Lo jangan parno gitu dong'' sahut Alyssa sambil meneguk minumannya.

''Gua bukan parno, fy. Tapi..''

''oke, oke. Daripada kita beneran telat gara-gara kelamaan nelepon, mendingan gua berangkat sekarang. Kita ketemu di gerbang ya. Dah..!'' Alyssa menyudahi pembicaraan dan cepat-cepat menutup telepon.

''Ma, aku berangkat ya!'' seru Alyssa sambil mengambil tas.

''Hati-hati !'' seru mama, panik melihat anaknya yang terburu-buru itu.

Sebenarnya, masalahnya adalah Alyssa nggak tau letak kelasnya di mana. Ini hari pertama ia memasuki masa SMA. Dan, yang lebih parah, ia dan Via nggak mengikuti MOS sama sekali. Soalnya, Via kena flu parah dan Alyssa malah liburan bareng orangtuanya. Makanya, awalnya mereka berniat pergi bareng untuk mengecek kelas mereka. Eh, jadinya malah telat kayak begini.

Begitu keluar dari pagar rumah, Ify langgsung mengambil ancang-ancang untuk berlari. Kenapa harus lari? Karena jarak dari rumahnya ke gerbang kompleks jauh banget. Belum lagi ia harus naik angkot. Maka satu-satunya jalan adalah berlari sekencang munggkin dan mendapatkan angkot secepat munggkin supaya sampai di sekolah se one Time mungkin!.

*****

''Rio!''

Refleks cowok bertumbuh tinggi yang di panggil ''rio'' itu menoleh ke arah datangnya suara, membuat beberapa helai rambutnya bergoyang alami, makin mendukung ketampanan wajahnya.

''apa lagi sih, Ma?'' tanya rio sambil merengut kecil.

''nanti pulang sekolah, langsung pulang ke rumah ya. Jangan keluyuran nggak jelas,'' kata mama Rio sambil merapikan kerah seragam putra kesayangannya itu.

''aku kan nggak pernah keluyuran. Paling-paling aku main game online di warnet bareng Alvin''

''pokoknya hari ini kamu nggak boleh ke mana-mana. Pulang sekolah langgsung pulang. Bantuin mama beres- beres dong. Kita kan baru pindahan..''

Rio mengerutkan kening, merasa keberatan. ''tapi, Ma. Aku kan cowok''

''memangnya kenapa kalo kamu cowok? Nggak boleh bantuin mama?'' kata mama Rio sambil berkacak pinggang.

Rio langgsung menegapkan badan dan memberi hormat. ''Siap, Ma! Mario Stevano Aditya Haling siap menerima tugas''

''Gitu dong, anak baik'' ujar mama sambil mengelus-elus kepala Rio.

''tapi nanti aku ada latihan basket''

''Nggak ada alasan'' potong mama, seakan tahu taktik si anak.

Rio langgsung mengeluh pelan. ''aku kan sekarang kapten tim, Ma!''

''Mama nggak mau tau. Mau kapten tim kek, kepala sekolah kek, pokoknya kamu harus pulang on time hari ini. Titik''

''ah, Mama..'' Rio tetap keberatan.

''Rio, ayo berangkat !'' seru papa dari dalam mobil.

''iya pa'' dengan gesit, Rio mengambil tas dan mencium kedua pipi mamanya.

Setelah itu, dengan cepat ia berlari masuk ke mobil, duduk di sebelah papanya yang ada di bangku pengemudi.

''Lain kali, kalo begini lagi, papa tinggal kamu'' ancam papanya sambil mulai melajukan mobil.

''Sori deh, Bos. Yang bikin lama kan Mama'' Rio membela diri sekenanya. Dengan gesit ia menyalakan tape mobil, dan mengalunlah lagu-lagu dari Within Temptation, band favoritnya.

*****

Rio memerhatikan pemandangan di luar jendela mobil. Diamatinya satu per satu rumah yang di lewatinya. Ada rasa hangat di dadanya. Sudah lama sekali ia nggak merasakan suasana tempat tinggalnya itu.

Sepuluh tahun yang lalu ia pindah ke rumah neneknya. Cukup jauh dari sini, tapi masih di kawasan Jakarta. Selama sepuluh tahun ia hidup di lingkungan yang berbeda. Bahkan ia sempat melupakan teman-teman masa kecil yang suka bermain di sore hari bersamanya dulu. Tapi ada satu orang yang nggak pernah di lupakannya sampai sekarang.

Dengan saksama Rio memerhatikan lengan yang jelas berbeda dengan waktu kecil dulu. Lengan kecil itu sudah berubah menjadi lengan orang dewasa. Sekarang ia sudah kelas dua SMA dan nggak sepolos anak berumur enam tahun lagi. Tapi ada satu hal yang tetap sama.

Luka goresan itu masih berbekas di lengannya. Memang sih, luka itu sudah tampak samar-samar. Tapi entah kenapa, ingatannya akan luka itu nggak pernah bisa di lupakan. Ia masih ingat teman kecilnya yang bernama Alyssa alias Ify, si penyebab luka di lengannya itu.

Sayangnya, ia bahkan nggak tau apakah Ify masih tinggal di rumah yang sama atau pindah seperti dirinya dulu. Soalnya, baru kemarin sore Rio pindah ke rumah masa kecilnya karena seminggu yang lalu neneknya meninggal dunia. Dan ia belum sempat jalan-jalan di sekitar kompleks.

''kok melamun, Yo?'' tanya papa sambil mengecilkan volume tape mobil.

Rio tersadar, ''oh.. Nggak apa-apa kok''

Papa melirik Rio. ''inget masa kecil, ya? Dulu kan kamu suka main sama teman-teman kamu pas sore-sore..''

''papa tau dari mana?'' tanya Rio bingung, bukankah papanya ini selalu pulang di atas jam tujuh malam karena jalanan macet?

''apa sih yang papa nggak tau?'' ujar papanya sambil tersenyum bangga.

Rio mendengus pelan. ''paling di ceritain sama mama''

Papa tergelak. ''papa kan punya banyak mata-mata di rumah''

''alah... Paling juga mama mata-mata nya''

''hahaha... Tau aja kamu'' kata papa sambil tertawa lepas.

Rio tersenyum puas. Inilah salah satu hal yang ia syukuri, memiliki ortu yang bisa di jadikan teman. Dan walaupun Rio anak tunggal, ortu nya nggak pernah memanjakannya.

Dan yang makin membuat Rio merasa beruntung ialah ia memiliki kenangan, karena baginya hidup adalah kesatuan dari masa lalu, sekarang, dan masa depan.

Sementara wajah nya masih menyisakan senyum, otak Rio mulai bekerja jauh di depannya, matanya menangkap sosok cewek berseragam putih abu-abu sedang berlari, wajah cewek itu penuh keringat, rambutnya lepek.

Rasa penasaran Rio tergelitik, Rio memerhatikan sampai menoleh ke belakang, ingin terus melihat cewek itu.

''ada apa, yo?'' tanya papa bingung

Rio menoleh. ''Hah? Oh, nggak kok, pa'' kata Rio sekenanya.

Cewek itu, Alyssa. Tampak semakin bersemangat berlari, sebentar lagi ia sampai di gerbang kompleks, Nafasnya nggak beraturan. Dadanya sedikit sesak karena kekurangan oksigen.

Pinggangnya mulai sakit. Tapi ia nggak boleh menyerah kalo memang nggak mau telat.

Pandangan Rio mulai mengarah lurus ke depan kembali. Tapi baru beberapa detik, ia tetap nggak bisa menghilangkan rasa penasarannya. Perlahan diliriknya kaca spion samping. Tanpa sadar, bibirnya membentuk senyuman bagitu melihat sosok Alyssa yang masih bisa di tanggkap oleh kaca spion.

''Lucu amat tuh cewek''

***

Gedung SMA Pelita masih seperti beberapa tahun yang lalu, belum ada renovasi yang signifikat. Meskipun nggak ada renovasi, orang-orang tetap mengagumi mutu sekolah ini, siapa yang nggak kenal SMA pelita? Salah satu sekolah favorit yang ada di Jakarta itu memang selalu menjadi incaran para siswa yang baru saja lulus SMP.

Dan betapa beruntung Alyssa dan Sivia karena bisa masuk SMA populer itu. Padahal dulu mereka hanya sekolah di SMP yang biasa-biasa saja. Tapi berkat perjuangan keras, akhirnya mereka berhasil masuk ke SMA yang sama, populer pula. Sayangnya, mereka berdua sama-sama nggak tau letak kelas baru mereka sendiri.

''ya ampun, akhirnya lo sampe juga'' sapa Sivia begitu melihat Ify turun dari angkot dan melangkahkan kaki melewati gerbang sekolah.

Alyssa yang masih ngos-ngosan butuh beberapa detik untuk membalas sapaan Sivia.

''Ya iya lah, orang gua maraton''

''ya salah lo sendiri, gua ajak bareng nggak mau'' ujar Via berusaha membela diri.

''Terus kita telat bareng, gitu?'' sahut Ify masih dada berdebar cepat.

Sivia merangkul pundak Ify dan dengan bersahabat

''iya, sori.. Sori' sekarang yang penting kelas kita di mana?'' tanya sivia santai

Ify melongo menatap temannya'' lah, tadi lo belum nyari?''

''belom'' jawab sivia polos.

''wah, gawat'' seru Ify panik sambil menarik lengan Sivia dan menggirinya masuk ke sekolah untuk mencari kelas mereka.

****

Di pagi hari yang sama di SMA pelita...

''woy, Rio!'' sapa Alvin sambil berlari kecil menyusul Rio. Alvin ini teman sekelas Rio waktu kelas satu, selain teman akrab di sekolah, rumah Alvin juga satu kompleks dengan rumah Rio, tapi beda blok.

Refleks Rio menoleh ''eh, elo. What's up?''

''wah... Gile lo, ya! Pindah rumah nggak bilang-bilang. Udah jadi tetangga lagi tapi nggak ngasih tau, nggak nraktir gua lagi''

''emangnya gua ulang tahun, pakek nraktir elo?'' sahut Rio sambil merangkul Alvin.

Alvin tergelak.

''Lagian, sebenarnya gua bukan pindah rumah, tapi kembali ke rumah asal'' Rio beralasan ''jadi nggak perlulah ntraktir lo buat ngerayain rumah baru, mana elo makannya kayak gentong pula'' lanjut Rio sambil menaiki anak tangga.

''sialan lo'' kata Alvin cuek, yang justru membuat Rio tergelak ''eh, kita sekelas lagi loh! Kita di 2 IPA-3. Kelas kita di atas''

Rio menghela nafas panjang. ''gua kira bakal sekelas sama cewek-cewek cakep, eh nggak taunya malah sama Gentong''

''gigi lo gentong! Bodi keren begini di bulang gentong? Buta kali lo'' Alvin nggak terima.

Tubuh Alvin memang nggak gendut kayak gentong, malah termasuk bagus. Tapi karena waktu kecil dia doyan banget makan tapi nggak bisa gendut, maka Rio seenaknya menjulukinya ''Gentong''.

Rio nggak bisa menahan tawa. Cowok kalau becanda memang seperti itu, kali ya. Makin banyak hinaan, makin bersahabat. Tapi kalo hinaannya keterlaluan, tonjokannya juga makin mantap.

''Eh, yo. Di kelas kita banyak cewek cakepnya lho! Di jamin deh, lo anteng terus di kelas,'' kata Alvin

''kalo cakepnya kayak Dian Sastro sih gua nggak bakal bosen,'' sahut Rio asal

Alvin langgsung bergaya muntah-muntah. ''Mimpi kali ye..!''

''Emangnya, cakep menurut lo yang kayak gimana sih, Yo!'' cerca Alvin.

Kini Mereka mulai menapaki anak tangga ke lantai dua.

Rio berhenti melanggkah dan memandang Alvin dengan tatapan aneh. ''Kenapa lo tanya-tanya kayak gitu? Lo mau daftar?''

''sialan lo!'' seru Alvin refleks. ''bisa dikutuk seratus turunan gue kalo sampek naksir lo''

Kali ini Rio ketawa sampai ngakak. ''Hm... Gimana ya? Kalo menurut gue, cewek cakep tuh...''

BRUK ! ! !

Tubuh Rio sedikit bergeser ke samping. Tanpa permisi Ify menabrak cowok itu dengan cuek. Sedangkan Sivia, dengan cara yang sama, menabrak tubuh Alvin. Giliran Alvin yang kaget. Lalu tanpa kata maaf, kedua cewek itu meneruskan menaiki anak tangga sambil berlari. Tinggal lah Rio dan Alvin yang masih terbengong-bengong, takjub akan ketidaksopanan kedua anak baru itu.

''mau jadi apa negara kita ini? Anak baru aja udah pada belagu sama kakak kelas,'' keluh Alvin jengkel.

Rio masih terdiam. Dia ingat cewek yang menabrak nya barusan. Bukankah itu cewek yang sama dengan yang lari di kompleks tadi pagi?

''woy!'' panggil Alvin, menyadarkan lamunan Rio.

''Apa?''

''Ayo buruan! Jangan bilang lo kesengsem sama anak baru tadi!'' kata Alvin sambil berjalan mendahului Rio.

Rio terdiam sesaat. Tanpa sadar ia tersenyum geli. Kebetulan yang aneh. Bertemu dengan orang yang sama dalam waktu nggak lebih dari satu jam! Yah... Anggaplah ini memang kebetulan.

Rio menegakkan kepala, menatap punggung Alvin yang mulai menjauh. Dengan gesit, ia berlari kecil menghampiri Alvin dan berjalan memasuki kelas barunya dengan penuh percaya diri.

***

''Hah?'' via langgsung menoleh ke samping. Matanya menatap ke segala arah, seakan mencari pangeran yang dapat menyelamatkannya dari interogasi putri caantik di hadapan ini.

''via?'' panggil Ify, membuat Via sadar.

''Hm... Tadi lo ngomong apa sih, fy?'' sahut via pura-pura lupa.

''gue tanya, kenapa kita sekolah di SMA Pelita? Kenapa nggak di SMA lain?'' kata Ify, mengulang pertanyaan yang semenit lalu baru saja diajukannya kepada Sivia.

Via memeras otak lebih kuat daripada sebelumnya.

''oh itu!'' serunya keras. ''kita masuk SMA Pelita karena jelas-jelas sekolah ini adalah sekolah terfavorit di Jakarta''

Ify mengerutkan kening. ''yakin lo? Soalnya kan banyak SMA lain yang bagus dan pastinya lebih dekat sama rumah kita..''

''tapi dari dulu lo pengen banget sekolah di sini, fy!'' lontar Via, keceplosan.

''karena...?'' pancing Ify cepat.

''karena... Karena...'' Sivia nggak berani menatap sahabatnya itu. ''karena dari dulu, menurut lo SMA pelita adalah SMA terbaik. Makanya sebelum lo kecelakaan, kita berdua udah mendaftar di sini, dan ternyata kita di terima,'' jelas Via, berusaha meyakinkan Ify yang tampaknya masih curiga itu.

''oh, gitu,'' ify menggumam pelan.

''emangnya kenapa, fy? Kok tiba-tiba lo nanya kayak gitu?'' gantian via yang penasaran.

''hm... Nggak apa-apa sih'' dahi Ify berkerut, berusaha mengingat sesuatu. ''gue cuma merasa... Kayaknya gue punya alasan yang kuat untuk masuk SMA Pelita. Tapi sayangnya gue nggak tau apa alasan itu,'' kata Ify, kesal pada dirinya sendiri yang bahkan untuk hal seperti ini pun ia lupa.

Perlahan via merangkul bahu sahabatnya itu dengan lembut. ''kita milih SMA Pelita karena sekolah ini sekolah favorit, Fy. Lo harus percaya sama gue,'' ujar Via meyakinkan.

Ify menatap Via, seakan mencari kejujuran di mata sohibnya itu. ''gue percaya kok sama elo,'' sahut Ify sambil tersenyum manis.

Via balas tersenyum, tanpa berani menatap mata Ify. Ia takut. Ia benar-benar takut dengan permainan ini. Via takut Ify tau ia sedang berbohong. Atau lebih tepatnya, ia takut Ify ingat semuanya....

*****


Nah itu part 1 nya nongol..
Maaf ngaret :D

Keep Reading ya :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.